Rabu, 24 September 2014

Makalah Pemikiran Politik Mohammad Hatta



Makalah Pemikiran Politik Mohammad Hatta

by
Huda Candra Baskara

BAB I
Pendahuluan
A.    Latar Belakang.
Jika ada pemimpin Indonesia yang hampir sempurna dalam karakter dan integritas pribadi, maka Mohammad Hatta (Hatta) adalah salah satu yang paling menonjol. Wawasan intelektualnya sangat jauh ke depan, sementara moral politiknya yang prima dan anggun banyak diakui kawan dan lawan. Dalam suasana sengketa politik dengan Bung Karno, komunikasi persaudaraan antara keduanya tidak pernah  putus, walaupun watak keras Soekarno dalam politik tersebut sempat mengecewakan generasi muda karena kegagalannya dalam membujuk Hatta agar jangan meninggalkan kursi wakil presiden.
Zaman pendudukan Jepang (tahun 1942-1945) bagi Mohammad Hatta, merupakan sebuah ujian besar, yang hanya dapat diatasinya karena keteguhan iman dan optimismenya akan tercapainya cita-cita Indonesia merdeka. Dalam pada itu beliau mempunyai keyakinan bahwa Perang Pasifik akan membawa perubahan bagi bangsa Indonesia. Hatta tidak percaya bahwa Jepang akan menang dengan Amerika/Sekutu yang mempunyai productie-potential begitu hebat. Tetapi berhubung dengan keuntungan permulaan yang diperoleh Jepang, perang tidak akan bisa selesai dalam tiga tahun. Masa perang itu bagi Hatta harus dipergunakan untuk mempersiapkan tenaga perjuangan rakyat, yang nantinya sanggup memikul kemerdekaan apabila Jepang sudah kalah. Kalau tidak bisa dielakkan maka kerjasama dengan pemerintah militer Jepang itu, menurut pertimbangan Hatta, bisa berarti untuk meringankan banyak sedikitnya penderitan yang ditimpakan pemerintah militer Jepang kepada bangsa Indonesia. Selama pendudukan Jepang, Hatta jarang berbicara di depan umum, kalaupun berbicara lebih sering sekedar memberikan obat pelipur lara dalam jiwa rakyat yang sedang tertekan.
Ketika Jepang menyerah pada bulan Agustus 1945, maka meletuslah amarah orang-orang Indonesia terhadap Jepang, dan timbulah dorongan aktif untuk merebut kekuasaan dari Jepang. Pandangan Hatta yang jauh ke depan mengatakan pendiriannya bahwa Jepang yang kalah tidak menjadi soal lagi. Soal yang paling penting adalah menghadapi tentara Sekutu yang akan mengembalikan kekuasaan Pemerintah Belanda di Indonesia. Oleh sebab itulah Hatta menyusun siasat antara perang dan damai untuk mencapai pengakuan Indonesia merdeka. Kemudian Hatta memilih damai. Akan tetapi seperti seringkali diucapkannya “kita cinta perdamaian, akan tetapi lebih cinta kepada kemerdekaan
Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Sukarno dan Mohammad Hatta, di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta Semenjak itu Hatta berperan aktif memimpin negara RI sebagai wakil presiden., dan dalam keadaan yang sangat sulit Hatta harus merangkap sebagai Perdana Menteri tahun 1948-1949. Politik yang diperjuangkannya akhirnya mencapai tujuan dengan diakuinya Indonesia sebagai negara berdaulat yang terdiri atas bekas wilayah kekuasaan Hindia Belanda pada Konferensi Meja Bundar tahun 1950. Pada waktu Republik Indonesia Serikat berdiri, Hatta yang menjadi Perdana Menteri pertama dan terakhir. Setelah Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk sesuai amanat proklamasi, Hatta terpilih sebagai wakil presiden oleh parlemen.
Setelah mengenl sosok Hatta dalam sepak terjangnya maka, dari sini penulis akan membahas tentang pemikiran bung Hatta. Bung Hatta terkenal atau dikenal dengan pemikiran akan demokrasinya dan juga konsep kebangsaannya. Untuk itu maka, penulis akan membahasnya sebagai fokusan masalah pada kesempatan kali ini.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pemikiran Bung Hatta akan Demokrasi ?
2.      Bagaimana pemikiran Bung Hatta tentang konsep Kebangsaan ?
C.     Tujuan
1.      Mengetahui pemikiran Bung Hatta akan Demokrasi.
2.      Mengetahui pemikiran Bung Hatta tentang konsep Kebangsaan.












BAB II
Pembahasan
A.    Bung Hatta Dan Demokrasi
Cita-cita tentang keadilan sosial adalah sari pati dari nilai-nilai timur dan barat yang mengkristal dan membentuk visi Hatta mengenai masalah-masalah politik kenegaraan. Hatta sangat percaya bahwa demokrasi adalah hari depan sistem politik Indonesia. Demokrasi akan tersingkir sementara, tetapi ia akan kembali dengan tegapnya . memang tidak mudah membangun suatu demokrasi di Indonesia yang lancar jalannya, tetapi ia akan muncul kembali dan itu tak dapat di bantah. Kepercayaan yang mendalam kepada prinsip demokrasi inilah yang pernah menempatkan Hatta pada posisi yang berseberangan dengan Bung Karno ketika masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966). Hatta menilai sistem ini sebagai system otoriterian yang menindas demokrasi. Sekalipun pendapatnya berbenturan dengan Bung Karno, Hatta tetap saja memberikan fair chance kepada presiden untuk membuktikan dalam realitas.
Sekalipun tertindas, di mata Hatta demokrasi tidak akan pernah lenyap dari bumi Indonesia. Menurut Hatta ada tiga sumber pokok demokrasi yang mengakar di Indonesia. Pertama, sosialisme Barat yang membela prinsip-prinsip humanisme, sementara prinsip -prinsip ini dinilai juga sekaligus sebagai sebagai tujuan. Kedua,ajaran Islam memerintahkan kebenaran dan keadilan Tuhan dalam masyarakat. Ketiga, pola hidup dalam bentuk kolektivisme sebagaimana terdapat di desa-desa wilayah Indonesia. Ketiga sumber inilah yang akan menjamin kelestarian demokrasi di Indonesia. Baginya, suatu kombinasi organik antara tiga sumber kekuatan yang bercorak sosio religius inilah yang memberi keyakinan kepada Hatta bahwa demokrasi telah lama berakar di Indonesia tidak terkecuali di desa-desa. Bila di desa yang menjadi tempat tinggal sekitar 70% rakyat Indonesia masih mampu bertahan, maka siapakah yang meragukan hari depan demokrasi di Indonesia.Tetapi memang sia-sia, sistem feodal sering mengganjal perkembangan demokrasi di Indonesia pada berbagai periode sejarah Indonesia modern. Sesudah kemerdekaan dicapai dan dinikmati bangsa ini, Bung Hatta membuka peluang bagi pembelajaran demokrasi rakyat di Indonesia. Bung Hatta sebagai wakil presiden memberikan kesempatan untuk berdirinya partai-partai politik yang akan mengikuti Pemilu pada 1955. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia untuk menyalurkan aspirasi politiknya tanpa merasa takut. Akhirnya tidak kurang dari 39 partai mengikuti pemilihan umum yang dipandang sebagai Pemilu yang paling demokratis sepanjang sejarah Indonesia modern. Pada saat yang bersamaan pula, Bung Hatta melihat bahwa partai-partai hanya berebut pengaruh untuk berkuasa. Partai-partai baku hantam saling menyerang dan bertengkar secara tidak sehat. Para wakil yang duduk di pemerintahan pun lebih condong bersikap sebagai politisi dan oportunis, bukan negarawan.
Dimulai pada Periode demokrasi terpimpin sampai periode demokrasi Pancasila (Orde Baru) sama-sama ditandai oleh berlakunya sistem politik otoriterian dengan topangan subkultur neofeodalisme. Hatta sangat prihatin melihat perkembangan politik yang tidak sehat, tetapi regim menciptakan kedua sistem tersebut tidak mau ‘mendengar’ nasehat Hatta. Akhirnya mereka hancur lewat cara yang destruktif. pada 1 Desember 1956, Bung Hatta meletakkan jabatan sebagai wakil presiden. Beliau melihat bahwa sejak penerapan sistem Demokrasi Liberal, jabatan wakil presiden hanya pemborosan uang negara, karena kedudukannya yang tidak lebih dari simbol belaka.
Sekalipun diluar pemerintahan, Bung Hatta justru tetap selalu menjadi kekuatan moral demokrasi dan mengontrol jalannya roda pemerintahan. Bung Hatta, sebagai sahabat sejati Bung Karno, walaupun dalam beberapa hal sangat tidak sejalan, senantiasa mengingatkan Bung Karno, terutama terhadap perkembangan PKI yang begitu pesat sejak awal tahun lima puluhan. Bung Hatta cukup khawatir akan kebijakan Bung Karno yang terlalu memberi angin kepada PKI. Ketika Bung Karno menerapkan Demokrasi Terpimpin sejak 1959, Bung Hatta-lah orang yang paling gigih melakukan kritik. Ia menulis “Demokrasi kita” dalam majalah Panji Masyarakat yang dipimpin Buya Hamka. Menurutnya, Demokrasi Terpimpin adalah bentuk lain dari kediktatoran, yang kemudian tulisan (bukunya) tersebut peredarannya dilarang Bung Karno.
Bung Karno pun selalu diingatkan Bung Hatta untuk segera melaksanakan pembangunan, karena revolusi sudah selesai dengan tercapainya kemerdekaan Indonesia 1945. Yang harus dilakukan sekarang adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat. Revolusi, jika tidak dibendung, hanya menghancurkan landasan dan bangunan, melepaskan engsel-engsel dan dinding-dindingnya. Pada saatnya akan mengakibatkan kekacauan belaka. Namun Bung Karno, dalam pidato-nya (Jalan Revolusi Kita), merespon Bung Hatta, menegaskan bahwa revolusi sebenarnya belum selesai. Kendati demikian, Bung Hatta senantiasa menempuh cara-cara legal dan konstitusional dalam rangka penegakan demokrasi. Beliau senantiasa tak berhenti menyampaikan kritik dan sarannya kepada Bung Karno.
Luar biasa memang, walaupun di antara kedua Proklamator ini terdapat perbedaan prinsip dalam pendirian mereka, namun hubungan persahabatan keduanya tetap hangat dan baik. Singkat cerita sekian tahun setelah Bung Hatta meletakkan jabatan sebagai wakil presiden, Bung Karno masih sempat mengunjungi Bung Hatta di rumahnya. Terlihat dan terlibat keakraban kedua peletak dasar Indonesia modern ini. Dalam suasana akrab tersebut, ketika akan makan malam, Bung Hatta juga sempat “menyerang” keras kebijakan politik Bung Karno. Namun Bung Karno tidak tersinggung oleh kritikan dan saran Bung Hatta. Kritik dan nasehat Bung Hatta disampaikannya kepada Bung Karno sebagai seorang sahabat. Bung Hatta tak kunjung berhenti mengirim surat berupa nasehat kepada Bung Karno untuk kembali ke cita-cita Proklamasi Indonesia semula. Dalam menyampaikan nasehat dan kritik tersebut, beliau senantiasa menjaga hubungan baik di antara mereka dan tidak pernah melecehkan dan mengecilkan arti pribadi Bung Karno. Begitupun Bung Karno sekalipun mendapat kritik tajam, Bung Karno tetap menghargai Bung Hatta sebagai sahabat.
Begitulah kisah perjuangan Bung Hatta dalam meluruskan dan menegakkan demokrasi. Berbeda persepsi dalam penegakan demokrasi tidak harus diartikan sebagai permusuhan, apalagi tidak mau bertemu atau bersalaman. Sebagai seorang demokrat sejati, Bung Hatta berjiwa besar melihat perbedaan pendapat dan tidak hendak memaksakan keinginannya sendiri. Ketika melihat kenyataan politik yang tak sesuai dengan harapannya, Bung Hatta bukannya mendirikan partai politik tandingan untuk menggembosi pemerintahan, sebagaimana dilakukan oleh para politisi kita saat ini. Bung Hatta, melalui tulisan-tulisannya, memberikan pencerahan kepada rakyat Indonesia untuk meraih kebebasan yang merupakan salah satu pilar penting bagi tegaknya demokrasi, untuk tetap kritis terhadap ketidak-berdayaan dan berjuang membela rakyat dalam menegakkan demokrasi.Sehingga Kata Echols ( 1981: 173)” the democratic ways of the Bung Hatta made people like him “ ( perlakuan demokrasi Bung Hatta menyebabkan Bung Hatta disukai banyak orang )
Menurut  Bung Hatta, demokrasi sudah ada sejak dari desa.Bung Hatta berpendapat dalam Padma Wahyono (1990), desa-desa di Indonesia sudah menjalankan demokrasi, misalnya dengan pemilihan kepala desa dan adanya rembug desa. Itulah yang disebut “demokrasi asli”. Demokrasi desa memiliki lima unsur yaitu :
a) rapat
b) mufakat
c) gotong-royong
d) hak mengadakan proses bersama
e) hak menyingkirkan dari kekuasaan raja absolut
Demokrasi Indonesia modern menurut Moh. Hatta harus meliputi tiga hal, yaitu :
a) demokrasi di bidang politik
b) demokrasi di bidang ekonomi
c) demokrasi di bidang social

Bung Hatta, sebagai salah seorang founding father Indonesia, melihat demokrasi itu tidak selalu demokrasi politik, melainkan juga demokrasi ekonomi. Apa yang beliau maksud dengan demokrasi ekonomi oleh Bung Hatta ?.  Menurutnya, demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. “Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada. Sebab itu, cita-cita demokrasi Indonesia ialah demokrasi sosial, melingkupi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia,” paparnya sebagaimana dikutip Yudi Latif.
Hatta menolak untuk mengikuti demokrasi liberal sebagaimana berkembang di Barat. Menurutnya, demokrasi ala Barat yang dipancangkan melalui revolusi Perancis pada abad ke-18 membawa masyarakat Perancis pada demokrasi politik ansich yang pada level tertentu hanya menguntungkan masyarakat borjuis dan menepikan masyarakat jelata. Demokrasi seperti itu, jelas Hatta, tidak sesuai dengan cita-cita perjuangan bangsa Indonesia yang menghendaki terwujudnya perikemanusiaan dan keadilan sosial.
Berdasarkan pemikiran tersebut, Mohammad Hatta menghendaki karakter utama demokrasi ekonomi Indonesia terletak pada tiadanya watak individualistik dan liberalistik dari jiwa perekonomian Indonesia (Revrisond Baswir, 2009 : 40). Secara makro hal ini diterjemahkan dengan menjadikan koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional serta diikut sertakannya semua pihak yang memiliki kepentingan dalam lapangan koperasi, termasuk para pekerja dan konsumen koperasi untuk turut bergabung menjadi anggota koperasi. Dengan demikian, pelembagaan kedaulatan ekonomi rakyat sebagai wujud demokrasi ekonomi dan pengutamaan kemakmuran masyarakat di atas kemakmuran orang seorang atau individu, hanya bisa diwujudkan dengan menyusun perekonomian Indonesia sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Pemikiran Bung Hatta dan para pendiri bangsa telah tertuang ke dalam UUD 1945, khususnya pada pasal 33. Ayat (1) pasal 33, menyebutkan bahwa “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Ayat (3), menyebutkan bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Dalam hubungan ini, sesuai dengan konstituasi, hadir peran negara dalam rangka menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi di Indonesia


B.    Bung Hatta Dan Konsep Kebangsaannya
Bagi Bung Hatta, tidak ada pergerakan kemerdekaan yang terlepas dari semangat kebangsaan. Artinya, perjuangan anti-kolonial apapun, sekalipun bercita-cita pada pembebasan manusia seutuhnya, tetap harus berpijak pada semangat kebangsaan.
Bung Hatta bahkan menegaskan, “cita-cita kepada persatuan hati dan persaudaraan segala bangsa dan manusia adalah bagus dan baik, akan tetapi, supaya tercapai maksud itu, haruslah dulu ada kemerdekaan bangsa.”
Artinya, kata Bung Hatta, hanya bangsa-bangsa dan manusia yang sama derajat dan sama merdeka yang bisa bersaudara. “Tuan dan budak susah mendapat persaudaraan, kan?” gugat Bung Hatta. Dengan demikian, persaudaraan atau humanisme seutuhnya pun tidak mungkin terwujud jikalau masih ada penindasan bangsa atas bangsa.
Kata-kata Bung Hatta ini menohok langsung pendirian kaum internasionalis maupun penganut humanisme universal, yang selalu menegasikan antara kebangsaan bagi kaum bangsa terjajah dan internasionalisme. Sebaliknya, Bung Hatta beranggapan, perjuangan kebangsaan bagi bangsa terjajah merupakan upaya pemulihan rasa kemanusiaan itu sendiri. Maklum, kolonialisme menginjak-injak martabat manusia.
Betapapun, Bung Hatta juga menyadari, ekspresi kebangsaan itu tidaklah tunggal. Ia sangat tahu, terkadang semboyan “membela kehormatan bangsa” digunakan oleh klas tertentu, termasuk kaum borjuis, untuk kepentingan ekonomi-politiknya. “Rakyat yang banyak hanya dipakai mereka sebagai perkakas saja. Rakyat menderita azab dunia di atas medan peperangan, menjadi umpan pelor dan gas racun,” kata Bung Hatta.
Bung Hatta pun membagi semangat kebangsaan dalam tiga kategori: ada kebangsaan ningrat, kebangsaan intelek, dan kebangsaan rakyat. Tiga kategori ini pernah eksis dalam sejarah perjuangan bangsa-bangsa di dunia.
Kebangsaan ningrat berarti kebangsaan yang menempatkan kaum ningrat di puncak kekuasaan. Artinya, sekalipun jumlah rakyat berlimpah-limpah, tetapi yang diakui keberadaannya hanya kaum ningrat. Dengan demikian, ketika Indonesia merdeka, kaum ningrat berkeinginan memegang kendali politik.
Kemudian, ada kebangsaan kaum intelek. Menurut cita-cita kebangsaan ini, kaum intelektual-lah yang harus memegang kekuasaan pasca Indonesia merdeka. Sebab, bagi mereka, negara ini tidak akan maju dan makmur kalau tidak dikemudikan oleh kaum intelektual. Memang, konsep kebangsaan ini menolak keras model kekuasaan turun-temurun menurut garis keturunan. Sebaliknya, mereka mengajukan bahwa hanya orang-orang cakap-lah yang pantas memimpin.
Selain itu, seperti dijelaskan Bung Hatta, konsep ini sangat meremehkan rakyat jelata. Bagi mereka, rakyat miskin itu lebih banyak bekerja untuk mencari nafkah hidup, sehingga tidak punya waktu untuk memikirkan politik. Karena itu, mereka tak usah diberi ruang untuk mengurus kehidupan negeri. Mereka cukup mengikut saja.
Bung Hatta menolak dua konsep kebangsaan di  atas. Ia lebih tertarik pada konsep kebangsaan ketiga, yakni kebangsaan rakyat. Bagi konsep ini, kebangsaan apapun tidak akan berguna tanpa adanya rakyat. Pemerintahan yang berjalan mestilah berdasarkan kemauan atau kehendak rakyat. Pendek kata, konsep ini menempatkan rakyat di atas singgasana kekuasaan.
Konsep kebangsaan Bung Hatta meletakkan rakyat sebagai protagonis-nya. Ia meletakkan rakyat sebagai dasar dari eksistensinya bangsa itu sendiri. Memang, tak ada bangsa tanpa rakyat. “Dengan rakyat kita akan naik dan dengan rakyat kita akan turun,” tandasnya.
Bangsa adalah kumpulan manusia yang tersusun sekaligus terbelah. Ada bangsa, seperti Indonesia, berhasil disusun dari keragaman suku, agama, dan adat-istiadat. Namun, pada aspek lain, masyarakat Indonesia itu terbelah dalam klas-klas. Dengan demikian, bangsa bukanlah sebuah komunitas yang stabil.
Tetapi Bung Hatta juga Bung Karno sudah menyadari keadaan itu. Karena itu, dalam menyusun konsep kebangsaannya, Bung Hatta memperlihatkan keberpihakan yang jelas dan tegas kepada rakyat banyak. Bung Hatta, seperti juga Bung Karno, tidak menghendaki Indonesia merdeka jatuh ke tangan ningrat, borjuis, ataupun di tangan segelintir kaum intelektual. Bung Hatta menghendaki agar Indonesia merdeka jatuh di bawah kekuasaan rakyat.
Konsep kebangsaan Bung Hatta tidaklah bervisi pendek. Ia tak sekedar mengejar kemerdekaan. Akan tetapi, kebangsaan Bung Hatta menghendaki sebuah masyarakat yang bisa menegakkan kemanusiaan setingi-tingginya, tanpa diganggu oleh penghisapan dan penindasan dalam bentuk apapun





BAB III
Penutup
A.    Kesimpulan.

Membicarakan Bung Hatta tidak akan pernah habis untuk beberapa dekade,dan mungkin beberapa abad yang akan datang karena sangat kaya akan visi, gagasan,dan contoh-contoh konkret yang dialami oleh banyak orang. Dalam pribadinya nilainilai baik yang positif dari timur dan barat telah menyatu dalam format yang hamper sempurna. Tetapi pertanyaan yang masih merisaukan adalah: pandaikah atau lebih
provokatif lagi. Bung Hatta merupakan konseptor utama tentang kedaulatan rakyat. Rakyat adalah yang utama. Baik semasa pergerakan maupun sesudah kemerdekan, rakyat menjadi titik sentral perjuangan Bung Hatta. Dengan pendidikan, rakyat harus dibuat insaf akan harga dirinya. Sehingga ia bisa berpartisipasi dalam proses politik. Rakyat merupakan raja atas dirinya sendiri. Dengan berpegang pada prinsipnya tentang kedaulatan rakyat, maka pemikiran-pemikirannya kemudian selalu setuju pada rakyat seperti pada masalah kebangsaan dan perjuangannya kemudian dalam memasukkan hak-hak rakyat dalam UUD 1945.
Bung Hatta sampai akhir hayatnya merupakan tokoh yang konsisten antara perkataan dan perbuatannya. Seperti yang dikatakan oleh Alfian dalam bukunya Pemikiran dan Perubahan Politikdi Indonesia, Kumpulan Karangan, bahwa sikap dan tingkap laku Bung Hatta kelihatan sebagai pantulan langsung dari apa-apa yang sebenarnya menjadi buah pikirannya. Atau bisa dikatakan bahwa sikap dan tingkah laku Bung Hattta yang terlihat sebenarnya merupakan personifikasi dari pemikiranpemikirannya.Apa yang mungkin kurang jelas disampaikannya dalam bentuk karya tulisan atau pemikiran, hal itu akan lebih mudah dimengerti melalui sikap dan tingkah laku yang diperlihatkannya. Di samping berbagai julukan yang dimengerti melalui sikap dan tingkah laku yang diberikan kepada Bung Hatta ddari seorang pahlawan Proklamator, Bapak Koperasi, negarawan, demokrat sejati, cendekiawan, atau satu lagi yang tidak bisa dilupakan, bahwa Bung Hatta adalah sebagai guru bangsa,sebagai pendidik negeri yang sejati, dalam politik, ekonomi, dan moral. Guru dalam teori dan praktik.Kecintaannya pada rakyat yang diperjuangkannya dibuktikan sampai akhir hayatnya.
Daftar pustaka
Kurniawan.  Gilang, 2012, Pemikiran Bung Hatta, diunduh dari http://gilangkurniawanbustami.blogspot.com pada tanggal 05 april 2014
Kusno , 2012,  Bung Hatta Dan Konsep Kebangsaannya, diunduh dari http://www.berdikarionline.com pada tanggal 05 april 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selamat Datang..dan terimakasih.. :)